Tren narkoba era kiwari: Beredar di desa, sasar perempuan, libatkan polisi
Direktorat Tindak Pidana Narkotika (Dittipidnarkoba) Bareskrim Polri kembali menggelar pemusnahan barang bukti tindak pidana narkoba. Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba (Wadirnarkoba) Bareskrim Polri Kombes Pol. Jayadi menyebut setidaknya ada 373,23 kilogram sabu dan 17,8 kilogram ganja yang dimusnahkan Polri.
"Mengacu kepada undang-undang narkotika, pemusnahan barang bukti itu tidak perlu menunggu inkrah suatu perkara, baik di tingkat pengadilan pertama, banding, sampai dengan kasasi," kata Jayadi kepada wartawan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Jumat (25/2) lalu.
Jayadi menyebut pemusnahan barang bukti itu sebagai bentuk transparansi Polri kepada publik. Menurut dia, Polri tak ingin kecolongan lagi sebagaimana kasus penyalahgunaan barang bukti narkoba yang melibatkan eks Kapolda Sumatera Barat, Irjen Pol Teddy Minahasa.
"Terkait kasusnya Pak TM (Teddy), kami sudah melakukan evaluasi. Kami sudah menerbitkan Peraturan Kabareskrim Nomor 2 tahun 2023 Tentang Pengelolaan Barang bukti, ya. Bagaimana pengelolaan ketika penyitaan, pengamanan, hingga pemusnahannya," ujar Jayadi.
Oktober lalu, Polri menangkap Irjen Teddy karena diduga menilep barang bukti narkoba seberat lima kilogram. Teddy diketahui berkomplot dengan eks Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara dan lima tersangka lainnya. Kasus itu kini sudah masuk ke meja hijau.
Selain Irjen Teddy, tercatat ada sejumlah perwira polisi lainnya yang terjerat kasus penyalahgunaan atau peredaran narkoba dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2019, misalnya, eks Kapolsek Metro Kebayoran Baru AKBP Benny Alamsyah ditangkap karena memakai sabu.
Januari lalu, tim penyidik dari Polda Metro Jaya menangkap Kombes Yulius Bambang Karyanto saat sedang nyabu di sebuah hotel di Jakarta Utara. Kombes Yulius saat itu tercatat sebagai perwira menengah di Baharkam Mabes Polri.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan Polri berhasil mengungkap sebanyak 33.169 kasus narkoba sepanjang 2022. Tak tanggung-tanggung, nilai barang bukti yang disita kepolisian mencapai Rp 11,02 triliun.
"Ini sebagaimana komitmen dari Bapak Presiden untuk melakukan pemberantasan narkoba. Kemudian, (Presiden) telah memberikan perintah untuk menangkap dan menindak tegas para pengedar tanpa ampun," kata Sigit dalam rilis akhir tahun yang digelar di Mabes Polri, Jakarta, Desember lalu.
Polri, kata Sigit, telah merampungkan 33.169 perkara penyalahgunaan narkotika sepanjang 2022. Ia memperkirakan upaya jajaran kepolisian mengungkap dan menuntaskan perkara-perkara itu telah menyelamatkan 104 juta masyarakat dari bahaya narkoba.
Sigit merinci setidaknya tiga kasus peredaran narkoba yang menonjol, sepanjang 2022. Pertama, kasus peredaran narkoba di Jawa Barat yang melibatkan jaringan pengedar dari kawasan Timur Tengah. Dari empat tersangka, Polri menyita 1.196 ton barang haram.
"Nilai total konversi barang bukti Rp1,28 Triliun. Ini mampu menyelamatkan 3,3 juta jiwa dari potensi penyalahgunaan narkoba," kata Sigit.
Dua kasus lainnya diungkap di Aceh. Pertama, kasus peredaran 179 kilogram sabu yang melibatkan jaringan Malaysia-Aceh. Kedua, kasus peredaran 169 kilogram sabu yang diungkap Satgas NIC Dittipidnarkoba Bareskrim Polri, Ditresnarkoba Polda Aceh, dan petugas Ditjen Bea dan Cukai.
"Total ada 9 orang tersangka. Nilai total konversi barang bukti Rp191 miliar. Ini mampu selamatkan 480,1 ribu jiwa dari potensi penyalahgunaan narkoba," ujar Kapolri.
Jika dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya, jumlah perkara yang rampung ditangani Polri meningkat cukup signifikan. Pada 2021, Polri menuntaskan 19.229 kasus narkoba dan meringkus 24.874 tersangka. Total barang bukti yang disita senilai Rp11,66 triliun.
Peningkatan jumlah kasus peredaran dan penyalahgunaan narkotika juga direkam Badan Narkotika Nasional (BNN). Pada 2022, BNN mengungkap 851 kasus penyalahgunaan narkoba. Angka itu naik sekitar 11,1% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebesar 766 kasus.
Dalam rapat kerja BNN dan Komisi III DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Januari lalu, Kepala BNN Petrus Golose menyebut BNN meringkus sebanyak 1.350 tersangka dari 49 jaringan. Adapun barang bukti yang disita, antara lain 1,9 ton sabu, 1,6 ton ganja, dan 262.789 butir ekstasi.
"BNN juga telah memusnahkan 152,6 ton ganja basah, termasuk 63,9 hektare lahan ganja. Pemberantasan ini menyelamatkan 12,2 juta generasi bangsa yang dari potensi penyalahgunaan narkotika," ujar Petrus.
Prevalensi naik
Naiknya jumlah perkara, baik yang ditangani Polri maupun BNN, seiring dengan temuan BNN dalam Indonesia Drugs Report 2022. Dalam riset itu, BNN menemukan prevalensi narkoba naik, dari 1,8% pada 2019 menjadi 1,95% pada 2021.
Kenaikan itu direkam dari Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba Tahun 2021 yang disertakam dalam laporan tersebut. Dari total 187.513.456 penduduk berusia 15-64 tahun, diperkirakan ada 4.827.616 warga yang pernah memakai narkoba dan 3.662.646 warga yang setahun pakai narkoba pada 2021.
Pada 2019, angkanya berturut-turut ialah 4.534.744 dan 3.419.188. Artinya, ada kenaikan sekitar 300 ribu. "Terjadi peningkatan keterpaparan narkoba pada umur 15-24 dan 50-64 tahun, terutama di pedesaaan," tulis laporan tersebut.
Secara khusus, BNN menyoroti meningkatnya angka prevalensi pengguna narkoba di kalangan perempuan. Pada 2021, sebanyak 0,98 perempuan desa mengaku pernah memakai narkoba. Pada 2019, jumlah pengguna diprediksi hanya 0,20.
Di perkotaan, peningkatannya jauh lebih drastis. Pada 2019, perempuan kota yang mengaku pernah memakai narkoba hanya sekitar 0,50%. Adapun pada 2021, jumlahnya mencapai 1,46%. Pada kategori setahun pakai, jumlahnya naik dari 0,30% pada 2019 menjadi 1,45% pada 2022.
"Risiko perempuan terpapar narkoba dalam setahun terakhir mengalami peningkatan dari 0,20 (2019) menjadi 1,21% (2021). Peningkatan terbesar terjadi di perkotaan," tulis laporan tersebut.
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menyebut ada sejumlah faktor yang menyebabkan angka prevalensi pengguna narkoba naik. Pertama, terkait pandemi Covid-19. Ia menyebut banyak warga yang memilih "menghibur diri" dengan memakai narkoba selama masa pandemi.
“Juga faktor push (pendorong) adalah rata-rata income yang meningkat. Jadi, Indonesia ini kan termasuk negara anomali. Anomalinya adalah ketika semua negara mengalami turunnya pendapatan, Indonesia malah naik,” ucapnya kepada Alinea.id, Senin (27/2).
World Inequality Report 2022 mencatat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia mencapai Rp69,03 juta per tahun pada 2021. Adapun menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan penduduk Indonesia naik pada 2021 menjadi Rp62,2 juta dari Rp57,3 juta pada 2020.
“Ada yang membelanjakan dengan cara membeli makanan, beli game, beli alat olahraga, tapi ada juga yang kemudian membeli narkotika untuk dikonsumsi di rumah,” ujar Adrianus.
Faktor-faktor lainnya, semisal kambuhnya mantan pengguna, meningkatnya jumlah pengedar dari kalangan perempuan. Perempuan, menurut Adrianus, tergolong lebih lihai dalam memasarkan narkoba.
Prevalensi, lanjut Adrianus, juga cenderung naik karena meluasnya wilayah peredaran hingga ke pelosok desa. “Desa-desa swadaya, yang maju, itu sebagian sudah (zona) merah (narkoba) semua. Itulah kenapa BNN, misalnya, salah satu yang dikejarnya adalah desa bersih narkoba. Itu bukan mengada-ngada," jelasnya.
Berdasarkan riset BNN, terdapat 8.691 kawasan di Indonesia yang rawan narkoba. Rinciannya masuk kategori bahaya sebanyak 1.844 kawasan dan kategori waspada 6.847 kawasan. Lima provinsi dengan kawasan rawan narkoba terbanyak ialah Sumatera Utara (1.192), Jawa Timur (1.162), Lampung (903), Sumatera Selatan (769), dan Jawa Tengah (747).
Adrianus menyebut Indonesia masih jadi pasar peredaran narkoba lantaran jumlah populasinya yang besar dan tingkat pendapatan penduduknya yang lumayan tinggi. Di lain sisi, Indonesia juga punya perairan yang luas yang bisa dijadikan jalur penyelundupan beragam barang haram itu.
“Terutama daerah Batam, Riau, Singapura, (dan) Malaysia. Itu bukan lagi banyak. Tetapi, dari sisi bahwa banyak pulau-pulau yang bisa didarati, lalu kemudian modusnya dengan cara kapal besar, kapal kecil, bahkan kapal sampan. Titik berangkatnya juga banyak,” jelasnya.
Tak mudah
Kriminolog Edi Hasibuan sepakat Indonesia masih menjadi pasar yang subur untuk pengguna narkoba karena jumlah populasi yang besar dan mudahnya penyelundupan barang haram itu. Ia menyebut banyak celah penyelundupan narkoba lewat laut.
“Karena rata-rata barang itu diturunkan di tengah laut, kemudian dibawa menggunakan kapal kecil, baru dimasukan lewat pelabuhan-pelabuhan tikus. Itulah yang susah,” ujar Edi saat dihubungi Alinea.id, Selasa (28/2).
Indonesia Drugs Report 2022 merinci jalur penyelundupan via darat dan laut. Via darat, narkotika lazimnya diselundupkan dari Papua Nugini ke Manokwari, Papua Barat. Adapun dari Malaysia, narkoba biasanya diselundupkan ke Tarakan, Kalimantan Utara dan Singkawang, Kalimantan Barat.
Pada jalur laut, BNN mencatat narkotika umumnya diselundupkan dari perairan Laut Cina Selatan ke Singkawang atau dari Pulau Palawan di Filipina ke Tarakan, dan Selat Malaka sebelum bermuara ke Sumatera Utara, Aceh, dan Riau.
Selain itu, ada pula jalur penyelundupan narkotika dari Malaysia ke Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Jalur lainnya ialah dari perairan Samudera Indonesia ke Banten, Jakarta, dan Jawa Barat.
Meski sulit, Edi mengatakan pemerintah tidak boleh putus asa dalam menutup jalur penyelundupan narkotika. "Selagi pihak-pihak terkait bekerja sama, maka persoalan tersebut seharusnya bisa ditangani," imbuh dia.
Soal peningkatan prevalensi narkotika pada perempuan, Edi menilai hal itu terjadi lantaran perempuan cenderung mudah dipengaruhi. Pengaruh bisa datang dari orang terdekat, seperti pacar atau teman. “Kalau tidak kuat iman, perempuan itu lebih gampang dipengaruhi di dalam hal penggunaan narkoba,” imbuhnya.
Adrianus sepakat penyelundupan narkotika ke Indonesia bakal sulit untuk sepenuhnya diberantas. Ia berpendapat angka prevalensi pengguna narkotika juga tak akan mudah untuk diturunkan dengan cepat.
“Wilayah (Indonesia) yang sebegini gede, dengan banyak pulau, itu kan selalu menimbulkan kesulitan tersendiri untuk menjaganya. Jadi, lebih kepada menjaga jangan sampai tercapai angka-angka imajiner. Misalnya, naik hingga 30%," kata dia.